TENTANG QODHO’ DAN QODAR

SEPUTAR
QODHO’ DAN QODAR

  1. Qodho’ dan qodar adalah  termasuk rububiyah Allah atas makhluqnya, yaitu mentauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta.
  2. Imam Ahmad berkata “ Qodar adalah kekuasaan Allah “, karena tak syak lagi bahwa qodar ( taqdir ) termasuk qudroh dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Qodar adalah rahasia Allah yang tersembunyi, tak ada seorang pun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis dalam Luh Mahfudh, kita tidak tahu taqdir baik atau buruk yang akan menimpa kecuali setelah terjadi.
  3. Tentang kehendak manusia, ahli sunnah wal jama’ah menempuh jalan tengah antara qodariah dan jabariah, bahwa perbuatan yang dijadikan Allah di alam semesta ini ada dua  :
  1. Perbuatan yang dilakukan oleh Allah terhadap makhluq-Nya, dimana tidak ada kekuasaan dan pilihan bagi maklhluq kecuali menerimanya, seperti turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit , sehat dll.
  2. Perbuatan yang dilakukan oleh makhluq atas kehendak mereka, karena Allah telah menciptakan kemauan bagi mereka. Sebagaimana firman Allah : “ Bagi siapa diantar kamu yang mau menempuh jalan lurus “ ( at-Takwir : 28 ). “ Diantara kamu ada yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada yang menghendaki akhirat “ ( Ali Imron : 152 ). “ Maka barangsaipa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah dia kafir “ ( al-Kahfi : 29 ). Ketika kita diatas rumah berkeinginan turun dengan tangga ( kemauan kita ) dan kita bisa melakukannya, tetapi kalau terpeleset dan jatuh maka hal itu diluar kemauan kita ).
  1. Jabariah dan bantahan atasnya :
Mereka ekstrim dalam menetapkan qodar serta menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluq. Mereka berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai mempuan dan keinginan, hanya disetir serta tidak mempunyai pilihan, laksana kapuk ditiup angin
Kalau pendapat iniditerima, niscaya sia-sialah syari’at ini dari semula, sebab manusia yang berbuat baik tidak perlu dipuji dan diberi pahala, sebaliknya yang berbuat jahat tidak perlu dicela dan disiksa, karena semua perbutan tersebut dilakukan tanpa kehendak  dan keinginannya. Sehingga bila kelak Allah menyisa para pelaku ma’shiat maka hal itu merupakan suatu kedhaliman, karena perbuatan makshiat tersebut terjadi bukan atas kemauan dan kehendak mereka.
Hal ini bertentangan dengan makna firman Allah  dalam surah Qoof : 23 – 29 ) yang intinya menjelaskan bahwa siksaan dari Allah itu berdasarkan kemahaadilan-Nya, dan Allah sama sekali tidak berbuat kedhaliman atas hamba-hamba-Nya. Sebab Allah telah memberikan peringatan, mengutus para rasul, menurunkan kitab suci, menjelaskan jalan yang benar dan sesat, kamedian mereka memilih kesesatan atas kehendaknya. “ Kami utus mereka sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para rasul itu. Dan Allah maha perkasa lagi maha Biajksana” ( An-Nisa’ : 165 )
Pada zaman kholifah Umar ada seorang yang mencuri,ketika ditanya mengapa mencuri ia menjawab “ Ya saya mencuri ini karena sudah ditaqdirkan Allah untuk menjadi pencuri “, maka Umar berkata “  hokum dia dengan cemeti 30 kali lalu ptong tangannya “, cemeti untuk hukuman dustanya atas nama Allah dan potong tangan untuk hukuman mencurinya “.
  1. Qodariah dan bantahan atasnya :
Mereka ekstrim dalam menetapkan kamampuan dan kehendak makhluq, sehingga mereka menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan ciptaan Allah. Bagi mereka manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya, bahkan ada yang berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan manusia kecuali bila sudah terjadi.
Pendapat ini bertentangan dengan nash-nash yang menyatakan bahwa kehendak menusia dibawah ( tidak lepas ) dari kehendak Allah. “ Yaitu bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus, dan kamu tidak dapat menghendaki ( menempuh jalan itu )  kecuali bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam ( at-Takwir : 28 -29 ). “ Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-sekali tidak ada pilihan bagi mereka “ ( al-Qoshash : 68 ).” Allah menyeru ( manusia ) ke Darussalam ( surga ), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus “ ( Yunus : 25 ).
Qodariah mengingkari sebagian dari rububuah Allah, bahwa seoalh-olah di alam semesta ini ada sesuatu yang terjadi diluar kehendak dan ciptaan Allah.
Lantas jalan dan upaya apa yang yang misti ditempuh manusia bila segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah ( termsuk sesat dan tidak sesat ) ?. Allah menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk, dan menyesatkan orang-orang yang patut mendapat kesesatan. “ Maka tatkala mereka berpaling ( dari kebenaran ), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik “ ( As-Shaff : 5 ). “ ( tetapi ) karena mereka melanggar janjinya, kami kutuk mereka dan kami jadikan hati mereka keras membatu, mereka suka merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya “ ( al-Maidah : 13 ).
Allah tidak menyesatkan manusia kecuali disebabkan oleh mereka sendiri, dan manusia tidak mengetahui taqdirnya kecuali bila sudah terjadi. Maka tidak pantas manusia melakukan kemaksiatandan kesesatan  ( atas pilihannya sendiri ) kemudian ia mengatkan inilah taqdirku ( ia menjadi seorang jabari ). Mengapa ia tidak berusaha untuk melakukan perbuatan baik dan kebenaran kemudian menegatakan inilah taqdirku. Mengapa ia menjadi jabari saat berbuat maksiat dan qodari saat berbuat baik ?.
Dalam sebuah hadist dari Ibnu Mas’ud diterangkan bahwa sebelum lahir manusia sudah ditetapkan 4 perkara atasnya : rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya serta apakah ia celaka atau bahagia. Dalam hadist ini jelas sekali bahwa masalah perbuatan, hidayah sama dengan ilmu dan rizki, semua sudah ditentukan. Kenyataannya meskipun rizki sudah ditentukan  manusia tetap harus berusaha, bekerja keras untuk mendapatkan rizqi dmikian pula tentang ilmu, tanpa usaha manusia tidak akan mendapatkan ilmu. Mestinya demikian pula ia mensikapi perbuatan baik dan buruknya, hidayah dan kesesatannya, meskipun hidayah dan kesesatan sudah ditentukan tetapi ia berkewajiban untuk berusaha mendapatkan hidauah dan menghindari kesesatan. Tidak boleh hanya diam pasrah saja.
Takdir adalah kehendak Allah yang tersembunyi, tak mungkin kita menegetahuinya kecuali setelah terjadi. Kalau dihadapan kita terbentang dua jalan yang satu mulus baik, yang lain sulit dan terjal, mana yang akan kita pilih ?. Di depan kita ada dua jalan yang satu sesat yang satu benar, mana yang kita pilih ? Kita mengikuti bimbingan kitab dan nabi, mengikuti akal sehat atau malah didominasi oleh nafsu ?. Ketika Umar bin Khotthab mencegah para shahabat memasuki suatu daerah yang dilanda penyakit kolera, Abu Ubaidah menyangkal “ Apakah anda hendak lari qodar Allah wahai amirul mukminin ? “. Umar menjawab “ Saya berharap mestinya bukan anda yang berkata demikian, Ya saya lari dari taqdir Allah yang satu menuju taqdir Allah lainnya “.
 Disini jelas manusia mempunyai pilihan, keinginan, usaha namun usahanya, keinginan dan kehendaknya tidak bisa lepas dari kehendak Allah. Dan kehendak Allah tidak lepas dari sifat keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Bukan kehendak mutlak yang absolute, otoriter, tetapi tetap sesuai dengan kebijaksanaan-Nya, dan Allah sekali-sekali tidak berbuat dhalim terhadap hambaNya.
Salah satu asma Allah adalah al-hakim, yang Maha Bijaksana. Dengan sifat ini Allah menentukan hidayah bagi siapa yang dikehendaki-Nya yang menurut pengetahuan-Nya menginginkan al-haq dan hatinya berada dalam istiqomah. Dan dengan sifat hikmahNya pula, Dia menetapkan kesesatan bagi siapa yang suka kesesatan dan hatinya tidak suka dengan Islam. Kecuali bila Allah memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya karena Allah maha kuasa atas segala sesuatu, Namun sifat hikmahNya menetapkan bahwa setiap sebab berkaitan erat dengan akibatnya.
  1. Tingkatan Qodho’ dan Qodar
Qodho’ dan Qodar mempunyai 4 tingkatan :
    1. Al-Ilm ( pengetahuan ), yaitu mengimani dan  meyakini bahwa Allah maha tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, secara umum maupun terinci, yang sudah maupun akan terjadi, baik itu perbuatan-Nya ataupun makhluq-Nya. Namun sifat mengetahui ini tidaklah berpengaruh sama sekali dengan perbuatan dan kehendak manusia, sifat mengetahui hanya menyingkap sesuatu, bukan untuk memberikan pengaruh pada sesuatu.
    2. Al-kitabah ( penulisan ), yaitu mengimani bahwa Allah telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam lauh mahfudh yang ada di sisiNya. ( al-Hajj : 70 ).
Kalau memang segala sesuatu sudah ditentukan dalam tulisan lantas apa yang mesti kita lakukan ?, ketika ada seorang shahbat yang bertanya demikian nabimenjawab “ Berusahalah kalian, masing-masing akan dimudahkan menurut taqdir yang sudah ditentukan baginya “, kemudian beliau membaca ayat al-Qur’an “ Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertaqwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya jaalan yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang baik maka Kami akan memudahkan baginya jalan yang sukar “ ( al-Lail : 5 – 10 ).
    1. Al-Masyi’ah ( kehendak ), artinya bahwa segala sesuatu yang terjadi atau tidak terjadi di langit dan dibumi adalah dengan kehendak-Nya, tidak ada yang lepas dari kehendakNya ( at-Takwir : 28 – 29 ). ( al-An’am : 112 ) ( al-Baqoroh : 253 ) dll. Karena itu tidak sempurna iman seseorang kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu.
    2. Al-kholq ( penciptaan ), yaitu mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu, termasuk dalam hal ini adalah perbuatan manusia merupakan ciptaan Allah, karena manusia bisa berbuat sesuatu karena ada dua hal 1. kehendak dan 2. kemampuan. Meskipun perbuatan itu atas kehendak manusia sendiri, tetapi bukankah Allah yang telah menciptakan kehendak dan kemampuan yang ada pada diri manusia ?. Meskipun demikian hakikatnya manusia itu yang tetap dihukumi berbuat dank arena itu ia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Sebagai Contoh adalah api yang membakar, api memang mempunyai sifat membakar, namun bukan dirinya sendiri yang bisa membakar, malinkan Allah yang menjadikannya bisa membakar, kalau Allah mencabut kemampuan membakarnya maka meskipun menyala ia tidak akan mampu membakar, seperti kasus pada nabi Ibrohim as.
Allah memberikan kepada api kemampuan untuk membakar, seperti itu pula Allah memberikan kepada manusia kehendak dan kemampuan untuk berbuat, bedanya api tidak punya akal, kehendak sendiri, perasaan dan pilihan karena itu tidak dihisab, sedang manusia mempunyai kehendak, pilihan, akal fikiran bahkan ada nabi dan kitab suci, sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
  1. Penutup.
Seorang mukmin harus ridha kepada Allah sebagai Tuhannya, dan termasuk kesempurnaan ridhanya adalah beriman kepada qodho’ dan qodar Allah, Bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, ilmu Allah mencakup segala sesuatu, Allah sudah menulis segala yang akan terjadi,, kehendak Allah meliputi segala sesuatu dan Allah menciptakan segala Sesutu. Namun ia tetap harus berusaha, memilih yang benar, mencari sebab-sebab, seraya memhon kepada Allah agar tetap mendapat hidayah dan inayah, karena qodar dan qodho’  merupakan rahasia ilahi yang tidak mungkin dia ketahui kecuali setelah terjadi. Allah tidak ditanya terhapat apa-apa yang Dia lakukan, tetapi manusialah yang dimintai pertanggungjawaban.
thumbnail
Judul: TENTANG QODHO’ DAN QODAR
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Diterbitkan Oleh

Artikel Terkait Aqidah :

1 komentar:

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template by Bamz